Saturday, May 14, 2011

Waktunya Kita Tidur, Nak!



Sunyi menyergap kamar kecil di sebuah rumah sederhana. Seorang ibu duduk di pinggir bale yang sudah telanjur jadi kerajaan sebuah koloni rayap, sudah keropos. Ia menemani anaknya yang gelisah, enggan memejamkan mata.  
            “Bu, aku ga mau istirahat, aku masih mau main.”

Mendengar permintaan cintanya, Si Ibu tersenyum manis. Itu senyum paling manis dan indah yang pernah dikembangkan seorang manusia.
            “Nak, kamu sudah lelah, dan kita harus istirahat.”
            “Tapi Bu, kenapa sekarang, masih banyak yang ingin aku kerjakan.  Tadi Awan bilang besok dia mau ajak aku ke empang Wak Dul. Mau nangkep kodok.”
            “Ibu ngerti Sayang, tapi sekarang sudah waktunya kita istirahat. Tuh lihat, Bapakmu sudah duluan tidur.” menunjuk suaminya yang sudah sejak tadi menutup mata, berbaring di lantai kamar beralas tikar pandan satu-satunya di rumah itu.

Suasana makin senyap, tak ada satu pun makhluk Tuhan di sekitar yang berani mengganggu adegan syahdu antara mereka. Katak menyembunyikan kepalanya di bawah daun teratai,  nyamuk memutuskan mencari korban di tempat lain,  orkestra jangkrik memilih mengadakan konser di kampung sebelah. Angin pun berusaha sekuat tenaga menahan napasnya. 
            “Bu, kepalaku sakit, aku ga bisa tidur...”
Si Ibu memberikan kecupan di kening, berharap itu bisa menjadi obat yang mujarab untuk sakit kepala anaknya. Dan buah hatinya bisa segera beristirahat.
            “Adek, coba pejamkan mata adek.” kembali si Ibu mengembangkan senyuman terindahnya, seolah ingin agar senyuman itu adalah pemandangan terakhir yang diingat anaknya sebelum menutup mata.
            “Bayangkan, Bapak pulang dengan sekantong penuh es krim.”
            “Aku suka es krim, Bu. Aku suka, Aku sangat suka es krim.”  menyeka ujung bibir, berusaha menahan air liur yang berlomba keluar menuju kebebasan.
            “Iya Nak, Ibu juga suka es krim. Ada rasa stroberi, ada rasa cokelat, ada rasa, mmmm.... belimbing, ada rasa....., apa lagi ya?” berusaha keras mengingat rasa es krim yang pernah ia lihat di sebuah mini market, sebelah apotek tempat ia menebus obat untuk suaminya.
            “Rasa duren, Bu. Aku suka duren.” cahaya terang memancar dari matanya, saking kuatnya pancaran cahaya itu, seolah sakit kepala yang ia keluhkan keluar bersamanya.
            “Ya, rasa duren!  Dan Adek ga perlu khawatir, karena di kantong itu es krim rasa duren ada banyak. Paling banyak di antara rasa yang lain.”
            “Waaah, aku mau tiga Bu, tapi aku juga mau yang rasa belimbing.” menggigiti dua jari telunjuknya, takut ibunya tidak mengijinkan.
            “Boleh, Cintaku. Tapi janji, es krim rasa durennya cuma tiga ya... karena kamu harus berbagi dengan Bapak. Bapak juga suka es krim duren.” Mereka tertawa pelan, menutup mulut dengan jari telunjuk.

Si Ibu membuat gerakan seolah-olah sedang membuka kantong plastik berisi es krim dari suaminya. Kemudian menjejerkan semuanya di meja sebelah bale. Menghitungnya, memastikan tidak ada yang  tertinggal di kantong plastik.
            “Adek mau makan yang mana dulu?” menyodorkan dua cup es krim dengan rasa berbeda.
            “Aku mau yang rasa duren, Bu.”

Si Ibu memberikan cup es krim di tangan kanannya, dan meletakkan es krim satunya di pangkuan. Mereka berdua pelan-pelan membuka penutup atas es krim. Dan secara bersamaan merasakan suapan pertama masuk ke mulut mereka.
            “Mmmm.... enak!
            “Yang belimbing juga enak... Adek mau coba?”
Membuka mulut lebar-lebar menyambut suapan es krim belimbing dari ibunya.
            “Iya enak Bu, tapi aku mau habiskan dulu es krim durenku.”

Suapan demi suapan berlalu, mereka baku pandang, tersenyum. Di suapan terakhir, Adek seperti tidak sanggup menahan keinginan kuat kedua matanya untuk menutup. Sekuat tenaga ia arahkan suapan terakhir es krim duriannya ke mulut mungilnya. Begitu sendok es krim menyentuh mulutnya, rombongan air liur yang sejak tadi terpenjarakan akhirnya merdeka, memperoleh kebebasannya. Dengan bersemangat mereka keluar bersama busa putih yang akhirnya memenuhi mulut Adek. Si Ibu tersenyum, walau sudah tidak lagi Indah. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Adek hingga ke dada. Dihapusnya busa putih yang menutupi bibir merah anaknya dengan sehelai kain lusuh. Kain itu kain kesayangan Adek. Adek tidak bisa tidur tanpanya.
            “Adek cantik, Tuhan pasti sayang sama Adek.” kembali dikecup kening putrinya.

Si Ibu membalikan badannya, meninggalkan bale keropos, satu-satunya harta berharga yang mereka miliki, berjalan perlahan mendekati  sebuah meja di dapur. Diraihnya gelas berisi cairan berwarna kuning bening yang telah ia siapkan sejak sore tadi. Gelas itu hanya terisi setengah. Diabaikannya bau menyengat dan rasa pahit cairan itu. Dengan mata terpejam, Ditenggak habis sampai tak tersisa. Dalam hati ia berdoa dan berharap Tuhan akan menuliskan skenario kehidupan yang lebih baik untuk ia dan keluarganya, di kehidupan berikut.

Dengan langkah sempoyongan ia kembali ke kamar. Sekali lagi ia kecup kening putrinya. Kemudian merebahkan diri tepat di samping suaminya yang sudah  mendingin. Kepalanya mulai terasa sakit. Sekelebatan, kenangan ketika suaminya dulu melamar muncul, ketika Adek menangis saat pertama kali mata bulatnya melihat dunia, ketika Adek datang sambil berlari memeluknya, memperlihatkan kakinya yang berdarah karena terjatuh saat bermain. Matanya perlahan menutup, susah payah ia tersenyum.
            “Sekarang kita bisa istirahat dengan tenang, Mas.”

Suasana tetap senyap,  Katak ramai berkumpul di atas  daun teratai,  rombongan nyamuk sudah kembali dengan perut kenyang.  Orkestra jangkrik baru pulang dari konser di kampung sebelah. Angin bertiup syahdu. Tapi tetap senyap.......

4 comments:

  1. @Sherie & @maulsteen : bener tragis.... tau nih tiba-tiba pengen nulis yg tragis-tragis gini. Tp itu gambaran kehidupan nyata yg sering kita abai. :D

    ReplyDelete
  2. Bagus :D Adegan simple yang berarti.
    (Helen)

    ReplyDelete