Monday, May 9, 2011

Ayahku (bukan) Pembohong

Menyebalkan! Ga Sopan! itu komentar gw buat Terre-Liye, penulis novel Ayahku (bukan) Pembohong--katanya nama aslinya sih Darwis. Dengan membayar 45 ribu rupiah ke kasir, eh dapet diskon 20% sih soalnya gw belinya pake ID card kantor, seolah gw dengan ikhlas ngasih tombol kontrol emosi gw ke penulis.

Penulis seenak udelnya, mencet-mencet tombol-tombol itu. Tombol no. 1 untuk bikin gw nyengir, tombol no. 2 untuk bikin gw ngerutin dahi, tombol no.3 untuk bikin kantong mata gw banjir. Dan tombol-tombol lainnya yang bikin emosi gw ga terkontrol. Lebay ya?.... Cant say a word, but in this case, reading is believing.

Alhasil, selama buku ini ada dalam daftar bacaan gw, n selalu gw kapit sepanjang sabtu-minggu, gw langsung “menderita instability emotion, gw menjelma menjadi pemuda tampan yang labil *halah tetep ya* Bentar-bentar gw nyengir kebawa cerita, inget betapa polosnya gw waktu kecil, tau-tau gw mengerenyit, mengingat dalam, bagaimana masa-masa gw n Papa Bear, atau tiba-tiba gw menyeka ujung mata, soalnya tulisan di novel tiba-tiba jadi bebayang, ga kebaca. Om gw yang sesekali mampir ke rumah mungkin bertanya-tanya, “nih, bocah kenapa lagi?” Soalnya seringnya gw baca di kursi di beranda rumah, di mana orang rame bolak-balik.
Okey, sekarang kita bahas isi novelnya, seperti biasa gw kutip dulu sejumput sinopsisnya,
Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?

Ouch... itu kata pertama yang keluar dari mulut gw pas baca sinopsisnya. Kena banget! Novel ini, seperti dijelaskan Penulis, adalah tentang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng, tentang definisi kebahagiaan, tentang membesarkan anak dengan kesederhanaan. Sang ayah berusaha menanamkan perilaku sabar, mengalah untuk menang, bekerja dengan sungguh-sungguh, menjelaskan hakikat kebahagiaan sejati melalui dongeng, yang ia dapatin dari petualangan panjang yang dilakukan ketika masih muda, (apa bener itu cerita perjalanan hidup si ayah, bukan cuma cerita karangan?). Ini yang menjadi konflik, ketika Dam, tokoh utama dalam cerita ini beranjak dewasa dan mulai meragukan kebenaran cerita-cerita ayahnya. Gw setuju dengan salah satu komentar dari buku ini yang bilang, “Terre-Liye berhasil menggugah saya sebagai pembaca sekaligus sebagai seorang anak dari seorang ayah yang sangat saya banggakan. Setuju! Itu juga yang gw rasain, kadang gw duduk sebagai pembaca novel, kadang gw udah berganti peran, duduk di lantai, mulut terbuka menganga, terkagum dengerin dongeng atau gw udah di kolam renang, siap-siap ambil start pada perlombaan renang antar klub, dipojok kursi penonton Papa Bear berteriak ngasih semangat.

Gw sedikit mengabaikan kritik sosial yang dilakukan penulis lewat selipan-selipan sindiran, maupun paparan tentang negeri ini lewat dongengnya, soalnya, buat gw itu bakalan mengurangi kesyahduan membaca novel menarik ini --gayamu nak!- Walau Penulis ga secara gamblang menyebut nama tempat, malahan penulis ga pernah menyebut nama tempat, dan asal tokoh-tokoh dalam ceritanya, semua dibiarin samar, n diserahkan ke pembaca untuk menebak, or bahkan loe boleh ko ngarang sendiri.

I tell you one secret, anak laki-laki, gw sih iya, really look up for his father. Ayah adalah tokoh pahlawannya, melebihi tokoh-tokoh super hero yang pernah ia liat di film-film. Menjadi seperti Ayah adalah cita-cita seorang anak laki-laki kelak besar nanti. Kenapa? Karena cuma ayah yang bisa melakukan hal-hal mustahil, hal-hal yang hanya bisa dilakukan penyihir hebat, kayak nelan uang logam dan ngeluarin lagi dari belakang telinga anak laki-lakinya. See what I mean? Its magic!
Hubungan cinta ayah-anak laki-laki adalah hubungan yang unik, Ketika hubungan itu masih hubungan ayah-anak laki-laki, mereka seperti dua sisi mata uang, sulit pisahin, saling mengagumi dan saling mendukung di antara keduanya. Ketika hubungan itu mulai naik pada tingkat hubungan yang lebih tinggi, hubungan antara dua pria dewasa, semua berubah 180 derajat. Mereka seperti dua negara adidaya yang sedang mengalami perang dingin. Masing-masing mengirimkan “mata-mata untuk mengetahui keberadaan “lawan" -nya. Padahal jauh di lubuk hati mereka, rasa kagum dan dukungan masih ada di sana, cuma terasa sulit untuk mereka ungkapin, lidah mereka terasa kelu setiap kali bertemu. You know what? Thats what this novel tells you about. Ga banyak novel yang ngebahas sedetail dan sebenar ini dalam hal hubungan ayah-anak laki-laki, malah ga banyak novel yang bercerita tentang hubungan ayak-anak laki-laki. Rasanya, sayang banget klo sampe gw lewatin begitu aja.

Penilaian: * * * * * (Perfecto!)

“Sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi memeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.
-- Ayahku (bukan) Pembohong--



No comments:

Post a Comment